Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang dapat dikatakan sebagai kebutuhan primer. Siapa di dunia ini yang tidak mau mendapatkan pendidikan yang layak? Bahkan orang-orang yang tidak mampu pun sebenarnya berhak dan ingin sekali mendapatkan pendidikan. Pendidikan pada zaman ini juga dijadikan acuan dalam mencari pekerjaan, standar yang cukup tinggi sudah ditetapkan oleh perusahaan-perusahaan dalam pencarian karyawan.
Perlu digaris bawahi pula pendidikan tidak melulu hanya membaca buku pelajaran, menghafal, memahami materi yang diberikan oleh guru atau dosen. Mari kita membahas soal pendidikan mental yang terkadang seringkali tidak terlalu diperhatikan oleh para orang tua, guru, dan juga dosen dalam membimbing anak-anak atau murid-muridnya.
Berdasarkan sharing dan juga hasil bincang-bincang dengan banyak teman saya mengenai hal ini, dapat saya simpulkan ada dua metode pendidikan mental yang biasanya diterapkan oleh para orang tua dalam membimbing anak-anaknya. Pertama, orang tua yang disiplin, keras, bahkan terkadang menggunakan kekerasan fisik, apalagi pada saat anaknya mendapatkan nilai jelek. Kedua, orang tua yang memberikan anaknya berbagai macam kursus, biasanya ini digunakan oleh para orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
Mari kita berbicara yang pertama terlebih dahulu. Cara ini seringkali ditemukan pada anak-anak generasi 90an (pada saat saya lahir, tapi untungnya saya tidak mengalami hal ini). Biasanya, tipe orang tua seperti ini akan menyuruh anaknya untuk belajar (tanpa memberikan kursus) dengan rajin, dan pada saat mendapatkan nilai jelek saat ujian, anaknya akan diomeli bahkan mungkin akan memukul dengan alat-alat tertentu. Hal ini mungkin diharapkan akan membuat jera sang anak sehingga belajar lebih rajin lagi agar bisa mendapatkan nilai yang bagus. Namun perlu disadari juga, hal tersebut juga menimbulkan trauma yang mendalam, dan dikhawatirkan pada saat dewasa nantinya, mental yang terbentuk adalah pendendam. Tidak bisa dipungkiri, hal balas membalas ini terlihat jelas pada saat ospek mahasiswa baru di kampus-kampus. Hal ini juga bisa dibilang menjadi rantai yang tidak pernah putus, karena akan terus berputar. Mahasiswa baru diospek oleh senior, ketika mahasiswa baru menjadi senior, berganti mereka yang mengospek mahasiswa baru, dan seterusnya.
Beralih ke cara kedua, yang biasanya diterapkan oleh orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga daripada tidak dapat memantau perkembangan akademik anaknya, lebih baik anaknya dipercayakan kepada tempat kursus. Terkadang, kursus yang diberikan pun tidak hanya satu atau dua, dapat lebih. Biasanya, anak yang diterapkan metode ini tidak akan terbentuk mental pendendam, mereka tentunya akan mempunyai pengetahuan yang luas namun apabila orang tua memberikan nasihat mereka akan memiliki argumen tersendiri untuk melawan omongan orang tua mereka, dan akhirnya dapat membentuk mental pembangkang, idealis dan juga keras kepala. Hal ini tentunya dapat menjadi bumerang menjadi orang tua sendiri karena tidak pernah memperhatikan pendidikan anaknya.
Kesimpulannya adalah tidak ada yang salah dari kedua metode yang saya sebutkan diatas, setiap pilihan pasti ada positif dan negatifnya. Namun mungkin ini dapat dijadikan acuan oleh para orang tua khususnya yang kurang perhatian dengan perkembangan mental anaknya, agar tidak mengabaikan pentingnya pendidikan mental dan memilih cara yang tepat dalam mengembangkan mental anak karena hal tersebut pasti akan membentuk kepribadian mereka kelak.
-Michael-
Perlu digaris bawahi pula pendidikan tidak melulu hanya membaca buku pelajaran, menghafal, memahami materi yang diberikan oleh guru atau dosen. Mari kita membahas soal pendidikan mental yang terkadang seringkali tidak terlalu diperhatikan oleh para orang tua, guru, dan juga dosen dalam membimbing anak-anak atau murid-muridnya.
Berdasarkan sharing dan juga hasil bincang-bincang dengan banyak teman saya mengenai hal ini, dapat saya simpulkan ada dua metode pendidikan mental yang biasanya diterapkan oleh para orang tua dalam membimbing anak-anaknya. Pertama, orang tua yang disiplin, keras, bahkan terkadang menggunakan kekerasan fisik, apalagi pada saat anaknya mendapatkan nilai jelek. Kedua, orang tua yang memberikan anaknya berbagai macam kursus, biasanya ini digunakan oleh para orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
Mari kita berbicara yang pertama terlebih dahulu. Cara ini seringkali ditemukan pada anak-anak generasi 90an (pada saat saya lahir, tapi untungnya saya tidak mengalami hal ini). Biasanya, tipe orang tua seperti ini akan menyuruh anaknya untuk belajar (tanpa memberikan kursus) dengan rajin, dan pada saat mendapatkan nilai jelek saat ujian, anaknya akan diomeli bahkan mungkin akan memukul dengan alat-alat tertentu. Hal ini mungkin diharapkan akan membuat jera sang anak sehingga belajar lebih rajin lagi agar bisa mendapatkan nilai yang bagus. Namun perlu disadari juga, hal tersebut juga menimbulkan trauma yang mendalam, dan dikhawatirkan pada saat dewasa nantinya, mental yang terbentuk adalah pendendam. Tidak bisa dipungkiri, hal balas membalas ini terlihat jelas pada saat ospek mahasiswa baru di kampus-kampus. Hal ini juga bisa dibilang menjadi rantai yang tidak pernah putus, karena akan terus berputar. Mahasiswa baru diospek oleh senior, ketika mahasiswa baru menjadi senior, berganti mereka yang mengospek mahasiswa baru, dan seterusnya.
Beralih ke cara kedua, yang biasanya diterapkan oleh orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga daripada tidak dapat memantau perkembangan akademik anaknya, lebih baik anaknya dipercayakan kepada tempat kursus. Terkadang, kursus yang diberikan pun tidak hanya satu atau dua, dapat lebih. Biasanya, anak yang diterapkan metode ini tidak akan terbentuk mental pendendam, mereka tentunya akan mempunyai pengetahuan yang luas namun apabila orang tua memberikan nasihat mereka akan memiliki argumen tersendiri untuk melawan omongan orang tua mereka, dan akhirnya dapat membentuk mental pembangkang, idealis dan juga keras kepala. Hal ini tentunya dapat menjadi bumerang menjadi orang tua sendiri karena tidak pernah memperhatikan pendidikan anaknya.
Kesimpulannya adalah tidak ada yang salah dari kedua metode yang saya sebutkan diatas, setiap pilihan pasti ada positif dan negatifnya. Namun mungkin ini dapat dijadikan acuan oleh para orang tua khususnya yang kurang perhatian dengan perkembangan mental anaknya, agar tidak mengabaikan pentingnya pendidikan mental dan memilih cara yang tepat dalam mengembangkan mental anak karena hal tersebut pasti akan membentuk kepribadian mereka kelak.
-Michael-
Komentar
Posting Komentar