Langsung ke konten utama

"Dewa" Itu Bernama Rating

Dunia pertelevisian harus diakui sudah menjadi industri yang sangat menjanjikan khususnya dalam hal pemasangan iklan. Selain sumber pemasukan yang utama bagi televisi tersebut, memasang iklan di televisi juga salah satu metode paling efektif dalam mempromosikan sebuah produk kepada masyarakat, apalagi di Indonesia sebagian besar masyarakatnya pasti menonton televisi, khususnya untuk kalangan menengah ke bawah.

Televisi menjadi satu satunya media hiburan bagi mereka. Selain menjadi media hiburan, fungsi utama televisi adalah menyampaikan informasi atau berita secara aktual dan juga faktual. Berbagai macam cara dilakukan oleh pihak televisi untuk menyajikan berita yang baik dan juga menjadi yang tercepat, karena siapa yang tercepat, pasti televisi itulah yang akan ditonton oleh banyak orang. Semakin banyak orang yang menonton, maka rating dari program tersebut pun akan semakin tinggi, sehingga menarik perhatian dari para pemasang iklan untuk menaruh produknya di program tersebut.


Rating adalah presentase dari penonton suatu acara dibandingkan dengan total atau spesifik populasi pada waktu tertentu. Yang diukur melalui rating ini kuantitas dan bukan kualitas suatu acara.
Rating  =   Jumlah penonton program A x 100 %
                                  Populasi TV
Angka rating dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, misalnya saja durasi suatu program, program tandingan, kualitas gambar yang diterima di rumah, penonton yang ada, jadwal tayang, juga pola kebiasaan penonton di daerah-daerah tertentu.

Di Indonesia sendiri, perusahaan televisi mempercayakan lembaga AC Nielsen dalam hal penghitungan rating, dikarenakan merekalah lembaga yang notabene dapat dipercaya dalam hal ini. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana transparansi dari AC Nielsen ini sendiri. AC Nielsen banyak menyebar responden pada golongan CDE, yang merupakan golongan menengah ke bawah, yang kembali lagi seperti yang saya katakan di atas bahwa golongan inilah yang sangat mengandalkan televisi sebagai media hiburan satu-satunya bagi mereka. Dan ironisnya, tayangan-tayangan yang mempunyai rating bagus tidak berbanding lurus dengan kualitas program tersebut. Bahkan, tidak dapat dipungkiri bahwa pada golongan CDE ini banyak sekali anak-anak dan wanita yang ada di dalamnya menonton program bobrok tersebut.

Memang kita tidak bisa menyalahkan pengitungan AC Nielsen ini, mereka mengambil banyak responden dari golongan CDE karena dengan alasan bahwa golongan AB jarang menonton televisi. Hal ini juga berpengaruh terhadap rating program yang mempunyai kualitas baik, tapi ratingnya jeblok sehingga lama kelamaan program tersebut pun harus dihentikan penayangannya. Berbanding terbalik dengan program seperti sinetron, yang biasanya kualitasnya buruk tapi punya rating yang sangat tinggi, sehingga banyak iklan masuk, walaupun mendapatkan teguran dari KPI pun akan tetap tayang bagaimanapun caranya agar pemasukan tetap lancar.

Ironisnya lagi hal mengenai kejar rating ini juga terjadi dalam dunia pemberitaan. Demi mengejar rating, sebuah program berita diselipkan materi yang sebenarnya tidak mengandung unsur berita sama sekali, demi menarik perhatian penonton dan meningkatkan rating. Sebagai orang yang idealis, walaupun saya tidak terjun langsung dalam pembuatan berita di kantor yang sekarang saya bekerja, namun saya pernah merasakan menjadi seorang jurnalis di tempat lama saya, dan hati nurani saya tetap berkata "Itu adalah pembodohan, hal yang tidak mengandung nilai berita mengapa disajikan kepada masyarakat hanya demi rating?". Hal ini menjadi pergumulan bagi saya, saya sebagai broadcaster tentu merasa kecewa dengan hal tersebut, karena saya secara tidak langsung telah "menipu" masyarakat dengan hal itu, hanya demi keuntungan televisi tempat saya bekerja.

Sebagai crew biasa, saya hanya bisa mengelus dada melihat hal tersebut terjadi, dan berharap hal ini tidak akan berlanjut ke depannya, karena menurut saya ini menyangkut nama baik dari program berita itu juga. Apakah mungkin program berita tempat saya bekerja nantinya akan dikenal banyak orang, tapi dikenal karena memberitakan hal yang tidak perlu diberitakan dan tidak mempunyai news value.

Jadi, which side are you on? Menjadi seorang idealis yang mementingkan news value walaupun rating rendah tapi sesuai dengan fungsi media, atau menjadi seorang liberal, tapi sebodo amat dengan news value hanya demi rating yang menjadi "dewa"?

-Michael-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jurassic World, Perfect Nostalgia

Akhirnya setelah 22 tahun Jurassic Park dirilis pada tahun 1993, dan juga 14 tahun setelah Jurassic Park III dirilis pada tahun 2001, film yang dinanti-nanti oleh orang seperti saya muncul juga. Ya, Jurassic World akhirnya diputar di Indonesia mulai tanggal 10 Juni 2015 serempak di seluruh bioskop. WARNING, SPOILER ALERT!

FYI: Perbedaan Mendasar Katolik & Kristen Protestan

Menjadi perdebatan yang akan sangat panjang apabila membicarakan mengapa Katolik dan Kristen Protestan itu berbeda. Banyak sekali yang bertanya, bukankah Katolik dan Kristen Protestan itu sama? Mereka kan memuji Tuhan yang sama, sama sama pergi ke gereja setiap minggunya? Memang kelihatannya "sama", namun sebenarnya Katolik dan Kristen Protestan itu mempunyai banyak perbedaan yang signifikan. Berikut ini akan saya paparkan beberapa perbedaan mendasar yang saya kutip juga dari beberapa sumber yang menurut saya terpercaya dan yang selama ini saya pelajari.

Media Sosial dan Realita

Media Sosial merupakan sebuah inovasi dari teknologi yang memungkinkan masyarakat untuk berbagi dengan sesama, mulai dari foto, video, dan lainnya. Media sosial juga memudahkan para penggunanya untuk dapat saling berinteraksi tanpa harus bertemu satu sama lain, membelah dunia dan juga samudera. Kehadiran media sosial ini juga pastinya akan menghasilkan dampak di dalam masyarakat, baik itu positif maupun negatif. Kira-kira dampak apa saja yang dihasilkan oleh media sosial ini?